Cinta Panta Rei

[1]
“aku menunggu seseorang ketika hari senja
sampai datang padaku gelap dan
meyakinkannya tiada 

Kamu tahu dear, ini sungguh tak adil bagiku. Tapi perkara perasaan tak pernah bisa kupaksakan. Toh, kau menyayanginya, seperti katamu, lalu aku bisa apa? Aku menyayangimu.Aku mencintaimu. Itu saja. Tak perlu berurai kalimat dalam paragraf-paragraf yang panjang. Sebab mencintai tak perlu ada alasan. Bila kelak pun Tuhan mencatatkanmu sebagai jodohku, itu adalah kesyukuran Ilahi yang tak bisa menggantikan apapun. Namun, bila kelak membalikkanmu menjadikan kamu sebagai teman saja, itu tak akan kusesalkan, dear, sebab aku tahu Tuhan memiliki rahasia besar di balik semua ini. Masih sangat jelas di ingatanku dear, ketika kutanyakan tentangnya dan kamu. Dan, itulah akhir komunikasi di antara kita.
“Apakah kamu sayang padanya?” kudengar suaramu mendesah. Nafasmu terdengar berat. Tapi aku tahu kamu. Tak akan bisa berbohong jika itu perihal perasaan dan hati.
“iya.” Jawabmu singkat. Malam bergemuruh begitu keras. Kutarik nafasku begitu dalam. Serupa belati menikamku begitu tajam. Perih. Nganga. tak bergeming. Diam.


“Aku sayang padanya. Pun, aku sayang padamu. Perasaan itu hadir begitu saja. Tentang aku padamu, biarkan mengalir secara alamiah dan terlalu menampakkannya akan menjadi semakin bias dan subjektif.. Sebab, hati itu QalbiQalbi itu berubah-ubah tiap detik dan tak pernah kita inginkan begitu saja. Kemarin aku menyayangimu begitu dalam, dan sedetik kemudian bisa berubah tanpa kupinta. Begitupun perasaan yang kumiliki untuknya. Tetapi, jangan memintaku memilih sebab aku tak bisa.” Aku meringis. Sungguh, mencintai dan menyayangi selalu membawa pecintanya ke dunia lain. Antah berantah. Namun, aku selaluberpositif thingking bahwa mencintai yang sebenarnya adalah ketika dirimu tak menginginkannya menjadi milikmu seutuhnya. Sebab, kepemilikan terhadap cinta yang seperti itu akan meniadakan rasa di dalamnya, akan berubah menjadi ego yang liar. Dadaku sesak, tapi aku bertahan untuk tak membiarkan titik bening mengalir begitu saja.
“Aku tidak akan memintamu memilih, sebab perasaan adalah hak prerogative. Aku terbiasa begini, dear. Tenanglah. Rasa sayang yang kamu miliki, tetaplah jaga di hatimu. Sebab, kelak kamu akan tahu dengan siapa kamu akan merasakan lebih nyaman. Kamu menyayanginya, itu berarti ketidaknyamananmu terhadapku mulai ada. Dan, aku mengerti. Sebab, bagiku, menyayangimu bukan suatu ambisi. Hanya saja, satu hal yang harus kamu ingat, bahwa dalam hal percintaan, tak kan pernah ada yang bertahan cinta 2 hati atau lebih, sebab dasarnya mencintai itu adalah personal.” Sungguh, jika aku memilih, aku tidak akan pernah membiarkan perkataan ini terlepas begitu saja. Ah, ini pembiaran yang tak semestinya. Berusaha melawan arus yang kian menderas.
Malam mengerut. Kubiarkan diriku tersungkur di ranjang. Tuhan, jangan biarkan aku menangis lagi. Cukuplah cinta adalah kekuatanku, setidaknya untukku sendiri dan untukMu. Bukan untuk siapa-siapa. Cinta bukan luka. Cinta bukan darah. Cinta bukan tangis. Cinta bukan ratapan. Cinta bukan api. Cinta bukan bara. Tetapi, biarlah cinta yang menjelaskan dirinya sendiri. Sebab, jika pun memberinya definisi yang terlalu indah, maka semuanya bisa menghamblur begitu saja serupa abu yang menghitam. Serupa debu yang menari-nari di udara. Tapi, biarkan cinta menjadi angin. Yah, angin.
**********************
[2]
Tak ada hal yang paling memilukan ketika kau terbangun dari tidurmu, dan rindu tetap terjaga di benakmu. Sedang, dia mengabaikannya
Kesunyian itu menggerus kenanganku tentangmu. Kesunyian itu memekakkan batinku. Setiap kali membayangkanmu berlaku mesra dengannya, sungguh kesunyian itu menikamku. Namun, satu hal yang harus kukuasai adalah melepasmu tanpa benci yang bertengger di pohon jiwaku. Bahkan, tak pernah terlintas di pikiranku sedikitpun tentang membencimu. Sebab, aku sangat paham, betapa cinta, benci, dan kehilangan sangat tipis jaraknya. Ketika hatiku mencintaimu dengan sepenuh jiwaku, aku pun bersiap kehilanganmu hingga aku benar-benar kehilanganmu namun cinta yang kumiliki untukmu tak pernah hilang. Bahkan, membiarkan rindu ini terus saja berkejar-kejaran tak memberiku jeda sama sekali. Aku masih ingat ketika kukirim sebuah pesan singkat untukmu, “di tiap rinduku, kau menemuiku pada hembusan angin yang kadang harus lewat di kisi-kisi jendelaku, lalu kurasakan kau berbisik “Aku datang menuntaskan rinduku untukmu, dear. Jika kelak kau merindukanku, maka aku akan datang sebagai angin dan saat kau mendengar bisikanku dalam desau angin, maka itulah aku di debaranmu. Saat kau merasakan angin bertiup saat aku tak ada di dekatmu, itu aku. Sebab rindulah yang memberi nyawa pada angin yang berhembus ke arahmu.”
[3]
Tahukah kamu rindu tak berkabar itu seperti apa?

Kapan terakhir kau mengirimiku puisi Rindu? Uh, aku tak ingat lagi. Bahkan aku hampir tak ingat cara merindukanmu lagi. Sebab, satu hal yang ingin kulakukan saat ini adalah membiasakan menjadikannya TIADA. Ini hal biasa untukmu, kan? Sedang aku tak biasa membagi rindu dengan kekasihmu yang lain. Jika perlu ingin mematisurikannya saja, biar di saat aku terbangun nanti, aku lupa tentangmu. Mengamnesiakan tentangmu yang pernah kurindui. Sungguh, semesta tak memberiku ruang untuk menangis lagi karena menahan rindu yang meleleh panas.
You’ve get mail. Ringtone SMS hapeku. Apa kabar hatimu? Dada ini membuncah begitu hebat. Seperti lahar panas Merapi dan berkilat-kilatan. Harus kujawab apa? Sedang, kutahu hatiku memerih di altar kegelapan yang suram. Sedang, ku tahu hatiku terjatuh dalam jurang risau yang curam. Sedang, ku tahu seberapa kuat aku tak memikirkanmu lagi, sekuat itu pula desakan rindu ini berteriak lantang kepadamu. Lalu, masih adakah sisa terhadap ‘membencimu’? sebab, ku tahu, aku tak ingin berdusta. Namun, kupilih tak menjawab SMSmu. Biarkan saja. Kelak, kau akan benar-benar paham bahwa kehilangan semisal tsunami menerjang kota hatimu. Ambruk. Gersang.
Pernah di suatu siang yang hangat, di sebuah kafe saat kekalutanku masih besar terhadapmu yang mendua, “Re, gimana bisa kamu bertahan terhadap cinta macam ini? Kau terluka. Bahkan, kau tahu dengan jelas dia suka dengan wanita lain,” Tanya sahabatku, Andin saat itu. Aku tersenyum. Hatiku memang terluka. Tapi, aku terbiasa terluka, hingga tiap kali aku terluka kujadikan sebagai takaran kebahagiaanku kelak. Entah dengan dia atau lainnya yang tak kukenal.
“Gag apa-apa sayang, kamu tahu aku kan? Rere. Sudah kebal kok.” Jawabku sambil mengulum senyum. Betapa kutahu kini, ada yang bergejolak di sini. Di dada. Tapi aku takkan menyerah begitu saja. Bagiku, jika dia merasa nyaman dan bahagia dengan Maya kini, mengapa aku harus sedih? Bukankah melihat kebahagiaan kekasih yang kita sayangi dengan orang lain adalah kebahagian yang tak ternilai harganya meski harus membayarnya dengan tikaman yang menajam tiap waktu. “Hidup itu terus berjalan, bukan? Suatu saat dia akan sadar siapa wanita yang paling dicintainya.”
Kulihat Andin hanya menggeleng mendengar penuturanku. Menurutnya, tak masuk logika tentang caraku memandang hidup dan cinta.
Tapi, begitulah aku. Tak ada yang akan kupaksakan tentang cinta. Sebab, kutahu orang yang dicintai kekasihku adalah seorang wanita. Dan, aku wanita. Wanita yang tak ingin membiarkan wanita lain tersakiti karenaku. Tak ada istilah merebut dalam kamus hidupku. Hanya saja rasa itu yang muncul belakangan setelah aku bersama dengan kekasihku. Harus menyalahkan siapa? Kak Erta? Dia pria normal. Dia belum menjadi suamiku. Dia memiliki rasa. Qalbi. Tak ada pembenaran yang mesti ku kukuhkan, sebab pembenaran terhadap suatu kesalahan ada saat cinta itu telah diikrarkan dalam ijab-qabul di hadapanNya. Lalu, Maya? Tidak. Dia wanita normal. Memiliki rasa pula. Aku takkan pernah menyalahkannya, meski aku hanya mengenalnya lewat dunia maya, tapi aku tahu dia memiliki rasa yang sungguh besar terhadap kak Erta. Aku masih ingat percakapanku dengannya saat di chatroom fesbuk.
Maya 13:04
SY BENCI!!
SY SEDIH!!
SY MARAH!!
Aku 13:04
Tak perlu membenci, itu tak ada gunanya. sedih? itu wajar. marah? takkan menyelesaikan mslah
Maya 13:06
SY TW KM TEGAR, SY TW KM BISA KENDALIKAN EMOSI OR APALH!!!!!
TAPI SY TIDAK AKAN BISA SPRTI ITU
SY BERHAK MENGELUARKAN AP YG AD DALAM HATI,DAN SUASANA IN!
Aku 13:07
i know
Maya 13:08
SEJAK AK JALAN SM DIA SY MERASA SY SUKA TAPI ADA TERTAHAN DALAM HATI…SPERTI ADA SESUATU!! DAN TERNYATA DUGAANKU BENAR!!!
TAPI DIA MASIH JALAN DENGANMU. AP IT NAMANYA? THIS IS NOT FAIR
Aku 13:09
tapi saya g pernah permasalahkan kan? toh, selama ini sy bersikap alamiah pd kmu.
bukan dibuat2
Maya 13:16
DIBALIK SENYUMMU, KM MCOBA TUK SEMBUNYIIKAN LUKA
Aku tersedak. Sesak. Bergemuruh. Betapa hebat diriku kini. Menutupi perasaanku sendiri demi melihat senyum wanita lain bisa terurai kembali. Kulanjutkan percakapan kami..
Aku 13:17
sebab perkara perasaan atau mencintai atau menyayangi atau apalah namanya, bukan untuk dipublis ke org lain
13:18
TIDAK SEMUA WANITA SEPERTIMU,DAN SY SALUT DENGAN TINDAKAN DAN KESABARANMU!
Aku 13:22
No, tdk seperti itu hanya segala ssuatu hnya dipikirkan dan ditindaki berdasarkan logika sja.

[4]
Bila nanti tiba saatnya ku lepaskanmu lagi
Pandanglah aku di sudut hatimu saja
Sebab, ku yakin di sudut hati lain kita ‘kan saling semai

Ini cinta macam apa? Cinta berdasarkan logika akan menjadikan semua baik-baik saja. Sebab wanita terlalu labil dengan perasaan hingga ketika diperhadapkan pada masalah hati maka semisal langit bisa runtuh karena tangisannya. Tapi, aku wanita tegar. Yah, setidaknya itu yang kulakukan selama ini. Sebab cinta pernah menjatuhkanku dari langit ketujuh hingga berserakan. Titik klimaks dan kulminasi untuk hatiku yang meluka pun pernah kulalui begitu lama. Pernah berhibernasi bermusim-musim rasa. Lalu, seluka itukah hatiku kini terhadap Kak Erta? Entahlah, sebab aku hanya bisa merasakan bahwa aku tetap mencintainya. Pengkhianatan berkali-kali sebelumnya menjadi cambuk bagiku untuk lebih dewasa menyikapi persoalan cinta. Ah, cinta, jadilah cadar pada rupaku yang memuram.
“Re, kamu yakin tidak akan menghubunginya lagi? Kamu yakin dengan keputusanmu itu? Jangan mendustai hatimu. Jangan menyakiti dirimu sendiri. Bukankah kamu pernah bilang padaku kalau kamu ingin sekali saja untuk bisa mempertahankan seseorang yang kamu sayangi, kan? Lalu mengapa kamu menyerah kini? Matamu tidak bisa berbohong. Aku kenal kamu bertahun-tahun, bahkan ketika kamu pernah terjatuh 4 tahun lalu. Kamu tetap berusaha kelihatan tegar, meski dasarnya kamu rapuh sekali.” Andin terus saja berbicara. Dia sahabatku yang paling peduli sejak dulu hingga kini.
“Re, aku tahu, kamu mencintai seseorang tidak pernah main-main. Bahkan, ketika banyak pria kusodorkan untukmu agar kau bisa melupakan kak Bemby dulu, toh, kau tak pernah menggubrisnya satu pun. Kau seolah batu yang takkan meleleh meski digerus masa. Serupa salju yang sudah membeku berabad-abad. Lalu, kini, aku senang ketika aku tahu bahwa kamu kembali menyukai seseorang. Seorang pria yang membuatmu bisa jatuh cinta kembali. Lalu, mengapa kamu ingin merelakannya kembali dengan wanita lain? Berilah waktu sedikit saja untuk hatimu merasakan kebahagiaan. Aku sahabatmu. Ingin melihatmu bahagia, bukan untuk disakiti seperti ini.” Andin menangis. Memelukku penuh haru. Sedangkan aku? Hanya bisa menahan desakan buncahan di dada ini. Kak Bemby. Aku masih mencintainya Din. Meski kehadiran Erta, toh, tak mampu menggantikan posisinya di hatiku. Tapi Kak Erta menempati ruang tersendiri yang terpisah dari ruang untuk Kak Bemby. Namun, aku hanya belajar berdamai dengan masa lalu. Andin benar, seharusnya aku tak membiarkan kak Erta bersama dengan wanita itu, Maya seperti yang pernah kulakukan pada kak Bemby. Tapi, entah mengapa, aku lebih merasa Maya lebih membutuhkan kak Erta daripada aku. Aku hanya tahu bahwa memilih menjauh dari kehidupan Kak Erta bukan karena aku membencinya atau aku terluka begitu dalam, tetapi karena aku mencintainya. Bagiku, mencintai kekasih, bukan berarti harus memilikinya. Melepaskannya pun adalah realisasi dari ihwal mencinta.
“Andin, biarlah waktu yang menyelesaikan perkara cinta di antara kami. Sebab, semakin kita ngotot untuk mengejar keinginan kita, dan tak tercapai, maka hanya luka yang merajam akan menghampiri tiap sisa hidup kita. Kebahagian hidup itu tidak hanya diperoleh melalui penyatuan cinta yang sesungguhnya dari kepemilikan hati aku dan dia, tetapi wujud kebahagiaan itu bisa kuperoleh dari kepemilikan hatinya dengan kekasihnya. Kamu tahu, cinta itu seperti filosofi panta rei. Membiarkannya mengalir begitu saja. Tentunya, kelak kita akan tahu bahwa ada batasan di mana kita harus menghentikan aliran rasa yang menyungai dari hulu ke hilir. Selain itu, yang harus aku pahami pula adalah bahwa tak ingin membiarkan kejumawaan itu meraja dalam ruang hatiku, sebab musabab cinta menjadi benci terkadang muncul ketika rasa jumawa itu lebih berkuasa.” Kupeluk Andin, dialah yang paling memahami aku di saat semua orang di sekitarku mengeluarkan kalimat-kalimat yang tak menyenangkan bahwa gadis bernama Rere adalah seorang yang pemilih. Aku berusaha kuat. Tak membiarkan hatiku menitikkan hujan yang perih. Biarlah begini, sebab aku yakin ketika kehilangan menemanimu, maka seorang penggantinya telah menantimu.
[5]
Pernah kutelanjangi hatiku dengan cintaku yang tak biasa padamu.
Menjamah rindu yang kau papar padaku.
Entah, di sudut rasa yang manakah yang tak sanggup kumuntahkan padamu
Hari berlalu. Minggu berganti. Bulan menanti. Kau semakin jauh. Semakin absurd. Semakin abstrak. Namun, satu hal, aku semakin objektif menata hidupku kembali. Semakin kuat memandangmu berseliweran di beranda fesbuk saling bertukar kata sayang dengan kekasihmu. Aku tersenyum, yah meski aku tahu dalam senyumanku itu, masih ada perih yang mengikut, tapi aku menikmatinya serupa aku menikmati kopi pahit. Ibaratnya, kopi, semakin kopimu mau kau habiskan, semakin pahitnya terasa menjadi lebih nikmat. Bukan begitu? Seperti itupun cinta, semakin kau melihatnya tersenyum dengan yang lain, semakin kau merasakan kenikmatan mencinta. Sebab, hanya kepandaian menyikapi hiduplah yang harus kita mahirkan agar kelak semakin sering kau terjatuh, kau tidak akan merasakan sakit yang terlalu dalam.
Senja yang indah di beranda rumahku. Matahari merah saga menjingga. Kunikmati secangkir kopi hitam yang harumnya melebihi wangi tubuhmu. “Gag apa-apalah sedikit lebay,” ujarku menggumam sambil tersenyum. Aku masih ingat perkataan Selma pada Kekasihnya Kahlil Gibran, “Salah satu kekuatanku adalah kesanggupanku mengorbankan sesuatu yang agung agar bisa mendapatkan sesuatu yang lebih agung.”
Tiba-tiba suara Astrid mengalun indah begitu merdu dari Handphone yang kuletakkan di sampingku. Om Aji. Tumben? Segera kuangkat.
“Iyya, om, ada apa gerangan nih? Jangan bilang Om Aji mau nikah lagi?” aku mencoba bergurau padanya. Om Aji adalah ipar ayahku suami dari Almarhumah Tante Nur.
“Re, kamu masih ingat gag, laki-laki yang pernah kukenalkan padamu beberapa waktu lalu?” tanyanya dengan serius. Aku mencoba berpikir. Siapa yang dimaksud yah?
“Memangnya kenapa Om? Rere tidak ingat. Yang mana yah?”
“Duh, kok ponakan Om jadi pikun begini sih? Itu lho, lelaki yang bertamu ke rumahmu 6 bulan yang lalu. Sekarang dia sudah pulang dari Bandung nyelesaiin pendidikannya. Dia sering menanyakamu, apakah kamu sudah punya pacar atau belum? Sudah ingat belum?” aku mencoba mengingat kembali. Tunggu, waktu itu kan ada 3 orang yang datang bersama Om Aji, lalu yang mana yang dimaksudkannya? Setahuku, hanya satu orang yang masih single waktu itu, yaitu, Yayuk. Pria manis yang sempat melirikku saat kusajikan minuman. Oh my God, I don’t believe it.
“Gimana Re? udah ingat?”
“Siapa sih Om? Bilang langsung aja donk. Rere penasaran nih” kudesak Omku untuk memastikannya meski aku sudah bisa menebaknya.
“Adrian. Dia mendesak Om menanyakan ini padamu. Rencananya dia mau bertandang besok ke rumahmu. Kamu ada, kan?” segera saja ku iyakan. Telpon terputus. Ada yang berdebar. Gregetan mengingat peristiwa 6 bulan lalu. Sungguh hal yang tak pernah berusaha kuingat bahkan terlintas di benakku sedikitpun tentangnya. Kamu tahu Dear? Beginilah cinta, dia datang saat kamu tak menginginkannya, saat kamu kehilangan yang lain, sungguh yang lain menantimu di tempat yang berbeda. Selama kamu percaya, bahwa hidup itu mengalir seperti sungai yang tetap menemu hilirnya dan bergulir seperti bola yang menggelinding pada satu lubang pemberhentian. Cinta hanya perlu kau yakini keberadaannya, bukan meraba ketiadaannya lagi. Senyumku mengurai rasa yang entah. Tentangmu, kak Erta, adalah pilihanmu kau memilihnya, dan juga adalah pilihanku aku melepaskanmu, sebab, cinta yang kita miliki bukan untuk kita nikmati bersama tetapi untuk kita bagi kepada kekasih kita masing-masing kelak. Dialah wanita yang kau pilih, olehnya itu berhentilah kita merindukan lagi, sebab satu hal yang tak dapat dikembalikan adalah waktu yang lampau ketika aku pernah mempersembahkan sekawanan cintaku yang melimpahruah untukmu, namun kau mengabaikannya. Kita harus paham bahwa cinta itu tak harus memiliki. Seperti katamu, biarkan semuanya mengalir, biar semuanya tak menjadi bias dan subjektif lagi. 


ilustrasi/google




[1]. Kutipan puisi Penantian karya Faizi L. Kaelan dalam Antologi Seratus Puisi 18+

0 komentar:

Posting Komentar