CINTA OM JEN DI USIA 45


Tentang ketiadaan
semuanya menjadi kosong
Seperti hujan yang
menyamarkan pelangi
memudarkan sinaran di rupamu


Siang ini, udara Jakarta sangat bersahabat. Langit biru tertutupi awan sendu. Jalanan tidak macet seperti pagi tadi. Sungguh, andai saja seperti ini tiap hari, mungkin saja tak ada kesunyian di hatiku yang selalu kurasakan. Ahh…. Nafasku terasa sesak jika kembali mengingat kenangan 20 tahun yang lalu. Sungguh, kenangan pahit itu masih berlarian di pikirku dan hatiku. Bahkan, tak ada jaminan untuk hatiku kapan aku bisa melupakan kenangan itu? Aku masih terkapar di sini ditemani kesendirian dan kesepian yang selalu menghinggapi batinku. Tapi, satu hal yang masih kusyukuri adalah cintaku yang tidak pernah luruh untuk Tuhanku dan karirku kini. Serta seorang ponakan cantik yang kuasuh sejak kecil. Novel Afrianty, usianya 19 tahun. Masih berkuliah di salah satu PTS ternama di kota besar ini. Dialah kebanggaanku. Pelipur laraku. Belahan jiwaku yang selalu mengisi hari-hariku di saat hatiku benar-benar mengimpikan kehadiran seorang istri dan tentu saja anak dalam kehidupanku. Namun, semua harapan dan impian yang ingin kuwujudkan sejak 20 tahun yang lalu  tidak terwujud. Tak ada istri yang memberiku motivasi  dan tak ada anak yang memberi warna hidupku. Masih terasa perih itu menikamku. Sakit yang entah kapan aku bisa menemukan pengobatnya. Usiaku pun sudah tak muda lagi. 45 tahun. Hatiku pun sudah tak mampu mengenali cinta untuk makhluk bernama wanita. Sri Aida Handayani, wanita yang pernah sangat kucintai, telah menikam hatiku secara kasar, mencampakkan ketulusanku, menghempas kesetiaanku. Ahhhhhhhh…….. mengapa masih sakit kurasakan???
                “Mas Jen, aku sudah memberitahu ayah dan ibu, kalo mas akan segera melamarku,” kata gadis itu sambil menyeruput segelas jus jeruk di sebuah cafĂ© pnggir pantai. seorang pemuda hanya tersenyum sambil memegangi tangannya di atas meja itu
                “Alhamdulillah, lalu apa jawaban orang tua kamu?” Tanya pria yang duduk di sampingnya itu.
                “ mereka setuju. Tapi. Kata ayah, sebaiknya kita bertunangan saja dulu, sebab kuliahku belum selesai. Insya Allah, tahun depan aku akan berusaha menyelesaikannya. Gimana menurut kamu mas?” ujar kembali gadis yang bernama  Aida itu.
                “ mas, setuju ajah sih. Kalo itu yang terbaik menurut ayah kamu. Bukankah itu juga lebih baik, sambil aku memperbaiki karir juga, jadi, setelah kita menikah, aku sudah bisa memboyongmu ke rumahku sendiri, tidak lagi menumpang di rumah kakakku”. Ungkap pria itu dengan wajah serius tapi masih disertai senyum yang lembut.
                “Baik, mas. Lalu, kapan aku bisa bilang ke ayah dan ibu?” Tanya aida meyakinkan.
                “Insya Allah, malam minggu nanti aku akan datang dengan mbak Retno an Mas Wandi. Gimana?” jawabnya tenang seraya memegangi tangan aida.
                Akhirnya, kesepakatan itu muncul. Mereka menikmati senja kali ini dengan hati yang teduh, seteduh langit jingga merah memberikan senyumnya.


*****

                Suasana ruang tamu begitu meriah. Banyak kue dan minuman yang tersaji di atas meja. Terdengar canda dan tawa yang menggema di langit ruang tamu.
                “ Jadi, kapan pertunangan mereka di laksanakan pak?”
                “sebaiknya makin cepat makin bagus pak.” Jawan seorang bapak separuh baya.
                “bagaimana kalo senin malam nanti saja?” tawar seorang laki-laki yang kira-kira berusia 35 tahun.
                “Baiklah. Bagaimana dengan kalian berdua?” Tanya ayah Aida kepadanya dan Jen.
                Kedua muda-mudi ini hanya tersenyum dan saling melirik. Ada anggukan yang Nampak dan malu-malu mereka tunjukkan. Sementara orang-orang yang berada di ruangan itu hanya tertawa lebar dan memahami maksud anggukan kedua orang itu.
                Akhirnya malam yang dinanti pun tiba. Pesta pertunangan antara Sri Aida handayani dan Jen iskandar. Terlihat rona bahagia di wajah kedua orang itu. Perjalanan cinta yang terjalin 2 tahun bisa diwujudkan ke jenjang ini. Tak henti-hentinya rasa syukur dipanjatkan Jen. Dia bisa menjadi pendamping hidup Aida, wanita yang sangat dicintainya. Tamu-tamu yang berdatangan pun mengucapakan selamat kepada mereka. Berharap bisa langgeng hingga ke pelaminan kelak. Amiin….


*****

                “Apaaaaaaaaaaa???????” gelas yang berada di tangan laki-laki itu terjatuh dan berhamburan di lantai. Gagang telponnya pun terlepas dari tangannya. Seperti ledakan bom dahsyat mengenainya. Berdiri seperti patung. Seorang anak kecil berusia 3 tahun mendekatinya, memeganginya.
                “Om, kenapa???”Tanya bocah perempuan cantik itu dengan nada bicaranya yang khas.
                Tak ada jawaban. Masih bergeming di tempatnya. Tiba-tiba bocah itu menangis dan berteriak memanggil mamanya.
                “mamaaaaaaa…………. Om Jen, nangis….” Teriaknya keras
               Dengan tergopoh-gopoh, mama perempuan kecil itu menghampirinya.
                “Novel, kenapa teriak begitu, nak?” Tanya mbak retno lembut sambil memegangi pundak putrinya yang ikut menangis juga.
                “Om Jen, nangis ma.” Tunjuknya pada sosok pria yang sangat disayanginya itu.
                Mamanya pun menoleh pada adik bontotnya itu. Terlihat gelas pecah berserakan di lantai. Dia menghampiri Jen.
                “Jen, apa yang sedang terjadi?”tanyanya sambil menuntun adiknya itu ke kursi dengan sangat hati-hati. Lalu, dia menyuruh anaknya mengambil air minum di dapur. Anak kecil yang tidak mengerti apa-apa itu segera saja menuju dapur dan mengambilkan minuman buat omnya.
                “Jen, sekarang kamu minum dulu, lalu bilang sama mbak, apa yang terjadi barusan?”
                Masih terdiam. Nafasnya di atur dengan baik. Meneguk minuman sedikit demi sedikit.
                “ Mbak, Aida menikah minggu depan”. Ujarnya datar tak berekspresi.
                “apa??? Bukankah pernikahan kalian 4 bulan lagi?” Tanya mbak retno kaget mendengar ucapan adiknya itu.
                “Entahlah mbak, barusan yang menelponku itu, Aida. Dia dijodohkan oleh orang tuanya. Laki-laki yang menjadi calon suaminya seorang direktur perusahaan, salah satu teman kakaknya.” Lanjutnya dengan tak bersemangat. Sementara itu, novel menggelayut di pundak Jen, tapi segera diambil alih mamanya. Dan memangkunya.
                “Lalu, apa rencana kamu sekarang?” Tanya mbaknya. Sepertinya dia tidak ingin menanyakan lebih lanjut, takut melukai hati adiknya lagi.
                “Entahlah, mbak. Mungkin aku akan menyetujui promosi Direkturku. Aku akan ke Kalimantan. Di sana, ada anak cabang perusahaan bosku yang baru dibuka. Kebetulan sejak beberapa hari yang lalu aku ditawari dan belum memberi jawaban, tapi, aku tak perlu menunggu lama.” Lanjutnya lagi.
                “Hmmmmm. Kalo itu menurut kamu yang terbaik, mbak sih tidak masalah, tapi, sebaiknya kamu cerita dulu sama mas Wandi ya? Sebentar lagi dia pulang”
                Jen hanya mengangguk tak bersemangat. Lalu, di ambilnya novel dari pangkuan mamanya, lalu dipeluknya erat, seolah, perempuan kecil itu menjadi peluruh sedihnya.


*****

10 tahun kemudian.
                “Mbak, sebentar lagi aku akan pindah ke Jakarta. Gimana kabarnya Novel? Udah besar dan cantik ya?” Tanya sebuah suara di seberang telepon.
                “ Oya? Mbak ikut senang deh. Iya, novel sering sekali nanyain kamu, katanya, Ma, oom Jen, kapan pulang? Trus, rencananya kapan nih?” jawab suara wanita di telepon juga.
                “ Sepertinya 3 hari lagi mbak, tapi aku akan langsung pindah ke rumah baru.”
                “ Rumah baru? Memangnya kapan kamu beli rumah Jen?”
                “ Maaf mbak, aku lupa bilang, perusahaan ngasih aku rumah di bilangan Kemayoran, sebagai kompensasi aku sebagai Direktur di sini”.
                “ Wah syukurlah,”
                “Novel ada ya mbak?” tanyanya lanjut
                “ Belum pulang sekolah. Bentar lagi kayaknya”, jawabnya.
                “ ohh……. Ya sudah, nanti aku telpon lagi mbak. Kabari aku yah, kalo novel dah pulang. Suruh sms Oomnya ini. “ ucapnya seraya menutup telepon.
                “ oke deh.” Beberapa menit setelah menutup telepon, suara salam khas Novel terdengar dari luar.
                “assalamu alaikum. Mam, novel pulang nih.” Teriaknya seraya berlari ke ruang tamu, lalu menghempaskan tubuhnya ke kursi empuknya. Dia melepas tali sepatunya. Mamanya menghampirinya dan membawakannya segelas minuman jus dingin. Mamanya paling tahu kebiasaan novel kalo pulang sekolah dan berteriak seperti itu.
                “Vel, oom kamu barusan nelpon,” ucap mamanya sambil memperhatikan anaknya yang asyik meneguk jus dinginnya. Sesaat kaget dan tersedak.
                “ Oya? Trus, oom Jen nyariin aku gag?” muka ngarepnya keliatan.
                “ gag tuh.” Jawab mamanya sedikit menggoda.
                “ idih…. Mama bo’ong ya?” sambil mendekati mamanya dan mencium pipinya.
                “ nggak. Udah ah, mama mau nyiapin makanan, kamu telpon balik ajah tuh Om Jen
                “ Oke deh Mamaku yang Cantik,” dengan gaya yang sangat manja.


*****

                “Vel, kamu ikut sama oom ajah yah? Ntar oom daftarin kamu di sekolahan  yang bagus dekat rumah oom Jen. Gimana mbak?” tanyanya pada mama Novel dengan wajah yang mengharap.
                Spontan Novel yang baru beranjak remaja itu mengatakan setuju ingin menemani Oonmya untuk tinggal bersama di rumahnya yang besar itu. Tentu saja tanpa seorang Tante atau istri Oom Jen, sebab hingga kini, dia belum memikirkan untuk menikah.
                Melihat reaksi Novel yang sangat girang ingin tinggal bersama dengan adik bungsunya itu, tentu saja mamanya gag berkeberatan. Begitupun papa Novel.
                “ Yah, kalau novel berjanji tidak akan merepotkan kamu, mbak sih setuju ajah Jen. Gimana Pa?” tanyanya melirik kearah suaminya yang sedang duduk di sampingnya sambil memangku anak laki-lakinya dipangkuannya.
                “Tanya novel ajah lah Ma,” jawabnya membalikkan pertanyaan ke novel.
                “Novel janji kok tidak akan ngerepotin Oom Jen, iya kan Oom?” jawabnya dengan lirikan nakal pada OOmnya. Spontan jawabannya  menimbulkan gelak tawa yang sudah lama di rindukan kakak Jen.
                “Okelah kalo begitu. haahaha” jawab Jen dengan nada jenaka mengikuti alunan lagu jenaka yang sedang popular kini.

******

5 tahun kemudian
                Suara telepon rumah berdering keras di ruang keluarga. Novel berlari keil menuju ke arah suara telepon. Sebuah suara wanita paruh baya menegur di seberang sana dan mencari seorang pria yang rupanya adalah oom Jen.
                “Maaf, ibu ini siapa? Ada apa mencari Oom saya?” Tanya Novel dengan suara melembut.
                “ Saya Aida, teman lamanya. Bisakah saya berbicara dengan Oom kamu?”
                “Maaf tante, Oom Jen sedan dinas ke luar kota. Mungkin 3 hari lagi dia akan pulang. Ada pesan apa Tante?” novel memanggilnya tante karena merasa mengingat ibu tersebut adalah teman oom jen di masa yang lalu.
                “ gag apa-apa Vel. Kamu bilang ajah yah, kalo Tante Aida mau ketemu dia. Saya sudah cerai dengan suami saya. Makasih nak.” Pembicaraannya langsung ditutup begitu saja. Rasanya tak tahan Aida melanjutkan pembicaraan tentang perceraiannya dengan suaminya 2 tahun lalu. Hanya saja, baru kali ini, Aida mendapatkan nomor telepon Jen dari salah seorang sahabat dekatnya jen, yang kebetulan bertemu dengannya beberapa hari yang lalu di salah satu pusat perbelanjaan di Jakarta Timur. Ohh, apakah ini karma yang harus aku terima karna telah mengkhianati Jen dulu? Pikirnya. Sungguh begitu menghantuinya. Namun, dia hanya ingin menemui Jen untuk meminta maaf sebelum ajal menjemputnya nanti. Rasa sakit itu menekannya lagi.


*****

       Aida terbaring lemah tak berdaya di ruang kamarnya dengan infus yang terpasang sejak beberapa bulan ini. Dia menderita kanker payudara dan tumor otak. Sungguh nasibnya begitu menghiba diusianya yang ke 42 dengan status pernikahan tlah bercerai. Suaminya meninggalkannya 2 tahun yang lalu. Alasannya cukup sederhana, suaminya berselingkuh dengan sekretasrisnya dan memilih menikahinya. Aida tidak terima dimadu,dan meminta diceraikan saja.
      Airmata aida mengalir begitu deras ketika mengingat kenangan pahit itu. Sungguh, dia sangat menyesal tidak mempertahankan cintanya pada Jen di masalalunya. Namun, hal yang sungguh mustahil pula untuk memintanya kembali padanya lagi ktika harapan itu tlah dia hancurkan untuk Jen. Namun, satuhal yang membuatnya heran adalah Jen tidak pernah menikah. Masih bertahan dengan status bujangnya, padahal karirnya sudah mapan. Oh Tuhan, sungguh dosaku begitu banyak untuk Jen yang pernah dan ttap kucintai hingga kini.
     Jen langsung menemui aida di kediamannya ketika mendengar cerita dari ponakannya. Yah, dia memang tak kuasa memendam rasa sakit itu bertahun-tahun. Akibatnya, tak ada wanita lain yang bisa Jen cintai lagi selain Aida. Namun, kini kenangan itu menemuinya kembali. Dan, entah, apakah dirinya masih memiliki rasa cintanya untuk aida atau tidak, sebab hatinya tergerak untuk menemui mantan kekasihnya itu.
        Alangkah kagetnya Jen ketika melihat kondisi Aida yang terbaring tak berdaya di ranjang dengan infus terpasang. Sungguh, hatinya miris melihatnya. Setelah mendengar penjelasan kakak aida sebelumnya bahwa aida pun telah bercerai dengan suaminya merupakan pukulan berat baginya. Hati Jen bergetar. Dawai halus itu bersenandung kembali dihatinya. Ohh, mengapa nasib kekasih yang sangat dicintainya ini begitu memilukan hatinya? Sungguh, Jen ikhlas menemani saat-saat terakhir Aida demi melihat pujaannya itu bisa mendapatkan kebahagiaan diusianya yang ke 45.
.
 

0 komentar:

Posting Komentar