Perempuan itu Bernama Melani: Elegi Cinta yang Merapuh



Kepada lelakiku, Kusajakkan kau kali ini dalam kata yang tak begitu indah;
Di barisan rindu yang tak lagi terurai;
sebab di ketika itu, Kau akan meminang jiwa kekasihmu; sementara nyanyian jiwaku meredup di kawanan riang yang sepi malam ini.

Tak ada seorang pun perempuan yang pernah dan menginginkan dirinya hidup dalam sepi yang menggigit. Kala malam memeluk, sungguh pelukanmulah yang diharapkannya. Kala dingin menyapa, sungguh selimut ragamulah yang diinginkannya. Kala matanya menderaskan hujan yang perih, sungguh, tissue telapakmulah yang ingin menyapunya. Kala bibirnya menggulirkan riang yang riuh, sungguh, hanya bibirmulah yang diinginkan mendiamkannya. Lalu, kau di mana lelaki yang bersedia mempersuntingnya? Semisal perempuanmu tersesat di gurun sepi yang memilukan, maukah kau menjadi oase baginya? Semisal perempuanmu terjatuh ke lubang jurang yang dalam, maukah kau menjadi tangga yang menjulurkannya ke atas? Semisal perempuanmu terdampar di tepian samudra yang garang, maukah kau menjadi nelayan yang meminggirkannya ke hatimu? Sungguh, perempuan itu hanya ingin kau cintai, lelaki, bukan menjadi pemuas nafsumu yang kau telantarkan di piring kotormu. Sungguh, perempuan itu hanya ingin mengecap manisnya madu kasihmu, bukan menjadi leliar empedu di selangkanganmu. Perempuan itu, hanya ingin kau mengerti saja. Kamu tahukan syair lagu Doni Ada Band? Yah, perempuan itu hanya minta itu. Tak lebih.
Perempuan itu bernama Melati Riana. Usianya 29 tahun. Bekerja sebagai Akuntan terbaik di salah satu Bank Swasta ternama di Makassar. Posturnya lumayan. Tinggi 156 cm, berat 45 kg. Perempuan itu cantik. Popular di kalangan pria baik-baik hingga  tak baik atau hidung belang; pria seusianya hingga melebihi usianya; pria Lajang hingga telah berstatus resmi. Ramah pada siapa saja yang menjumpai dan menyapanya. Berjiwa social bagi kalangan di bawahnya. Santun dalam bertutur dan memiliki senyum indah yang tak terelakkan oleh lainnya. Satu hal yang menjadi daya tariknya, matanya yang indah, tajam, namun sendu. Serupa danau yang tenang tetapi menjadi riak di waktu yang tak diinginkan. Namun, tahukah kamu lelaki yang baik? Dia tak seberuntung perempuan lain yang hanya biasa-biasa saja dalam beberapa hal, tapi telah menikah bahkan memiliki buah hati yang lucu-lucu di usia yang muda. Dia perempuan seperti ibumu, ingin diciumi saat berangkat kerja, ingin menyiapkan sarapan pagimu meski pekerjaan menumpuk. Ingin memijatmu di kala kau lelah meski dia juga lelah. Ingin dimanja di kala hatinya lelah berkejar-kejaran dengan waktu. Ingin melihatmu bermain riang dengan anak-anaknya. Ingin saling berpegangan tangan di kala bepergian. Ingin menjadi makmummu di kala semua manusia terlelap dalam tidurnya di sepertiga malamNya. Di kala subuh yang basah menyapa. Di kala senja meringis ditinggalkan. Di kala lelap malam ingin kau jumpai. Dia Melani yang ingin mendengar lantunan suara merdumu menQalamkanNya. Melani yang ingin kau tuntun mengeja waktu yang kian ganas. Melani yang ingin mendengarmu mengucap ijab Qabul di rumah-Nya. Melani yang menunggumu menyuntingnya. Melani yang hanya lahir dari rahim seorang ibu yang menginginkan dirinya menimangkan seorang cucu yang bisa melucukan hari-hari tuanya kelak. Melani yang malang dalam kisah elegi cinta yang merapuh.
Melani. Dia tetaplah seorang perempuan desa yang memilih berkarir di kota besar. Lahir dengan kecantikan sempurna dan kepandaian yang tak diragukan siapa pun. Namun, mengeriput dengan cinta yang memerahkan hatinya 5 tahun lalu. Pengkhianatan atas nama cinta yang dipapahnya bertahun-tahun. Mencintai lelakinya sesempurna mungkin dengan keterbatasan hati yang meliukinya tiap waktu. Menegaskan kesetiaan yang kokoh dalam pohon jiwanya yang hamper menggoyahkannya di tarian angin dara Jantan. Namun, cinta dan setia tidaklah cukup untuk membuktikan segalanya. Fisik yang indah dan otak yang cemerlang bukanlah takaran utama mendapatkan dan mempertahankan kekasihnya. Ragil Pramudia. Seorang lelaki yang meluluhlantahkan kekokohan hatinya untuk mencintai dalam masa yang tak terkira lagi. Sebab, tiap detik laluan waktu, nafasnya hanya menghembus nama lelaki itu. Betapa hebatnya, Ragil. Hingga tsunami pengkhianatan itu memporakporandakan semesta jiwanya, bahkan raganya serupa mayat hidup yang menunggu ingin dipetikan saja dalam keranda maut.
“Ini, undanganku, Mel. Kuharap kamu bisa hadir nanti,” tak ada petir yang bergemuruh yang berkejarkejaran dengan kilat, tetapi nafasnya memburu dan menyesak di kedalaman rongga dadanya yang membuncah. Butiran airmatanya menumpahruah di langit wajahnya yang melebambiru. Tak ada pelangi yang indah menepi di sana lagi. Pertahanan tubuhnya dikukuhkan sekuat mungkin agar tak terjerembab ke lantai. Diraihnya undangan itu dengan tangan gemetar. Merajamlah dukanya kini. Dia tak bersuara sedikitpun. Diam. Kosong.
                                    ########
Senja menukik di perbatasan kaki langit kota Makassar. Seperti biasa, jam segini kendaraan saling berkejarkejaran dengan caranya masing-masing agar bisa terlepas dari jebakan macet yang ruah. Tumit kakinya mengeras. Betis indahnya menegang mengendalikan rem mobilnya. Jemari lentiknya melelah dalam kemudinya. Diliriknya jam di pergelangan tangannya, 18. 05 Wita. Magrib akan menjemput 20 menit lagi. Jika saja tak macet seperti ini, biasanya dia sudah sampai di kontrakannya pukul 17.45. tiba-tiba Blackberrinya bordering. Terkaget, bahkan secara tak sengaja menekan klakson mobilnya. Diliriknya pemilik panggilan itu, ibunya. “Tak biasanya ibu menelpon jam segini,” ujarnya menggumam. Ada kelonggaran sedikit untuk menepikan mobilnya. Langsung saja di telponnya kembali.
“Ada apa bu? Lagi di jalanka ini kodong, macetki.” Tanyanya setelah sambungan dengan ibunya terhubung. 
“Ke’nang, bisako pulang dulu malam ini, Nak? Kondisi Anto’ Lebangmu sedang sekarat. Dia terus memanggil namamu, Nak.” Terdengar suara tangisan yang lirih di sana.
“ Iyye, bu. Setelah shalat magrib saya akan pulang. Semoga masih bisaka dapatki Anto’ku. Sudahmi pale, bu. Saya cari Mesjid dulu untuk singgah shalat.”. klik. Terputus.
###########
 “Ke’nang, tallu bulang mami, usiamu sudah 30 tahun, cucuku, tidakkah kau berpikir untuk menikah? Anto’ sangat ingin melihatmu bersanding di pelaminan, Nak. Anto’ yakin, kau akan menjadi Putri yang paling cantik di keluarga besar Patta Ledeng. Kau tahu kan? Dalam keluarga besar kita, tak ada perempuan yang boleh menikah melebihi usia kepala tiga, aku tidak ingin kau dikucilkan oleh keluarga Pattamu yang sombong dan jumawa itu” Pesan Anto’ Lebangnya malam itu.
Subangngi, Anto’ memimpikanmu Nak. Seorang lelaki muda dan tampan dating menemuiku, memberitahu satu ihwal rahasia besar tentangmu. Tentang ketidakberuntunganmu menjalin kisah cinta dengan kekasihmu yang dulu dan tentang hatimu yang semisal kunci tergembok kuat. Lelaki itu mengatakan, sampai kapanpun kau tidak akan pernah menikah karna sebuah peristiwa pernah melukai hatinya yang menajam hingga dia nekat a’boya pangngissengang pannongko’ sura’ nikkahmu, Nak. Hingga sekarang, dendamnya masih berkesumat dan tak pernah melumut sedikit pun. Lalu, anto’ memelas bahkan menjatuhkan wajahku di bawah kakinya agar memaafkan segala khilafmu  masa itu, sebab, kau masih remaja yang lugu dan tak memahami mana yang melukai dan mana yang menyemikan. Lama sekali, Nak, dia terdiam dan tergugu. Hingga aku merasakan butiran air matanya berjatuhan di pelipisku. Lalu, diangkatnya bahu Anto’, Nak. Dipeluknya tubuh lemahku ini. Diucapkannya sebuah pesan ritual pannyungke sura’ nikkahmu. Lalu, memintaku agar menemui seorang kakek di Tanrusampe’, namanya Muhammad. Dialah orang yang akan memandikanmu untuk membuka perihal surat nikahmu. Setelah berpesan begitu, dia mengecup tangan keriputku dan mengucap selamat tinggal. Menghilang dalam kawanan kabut yang abu.”
Siapa lelaki itu? Hingga akhir cerita Anto’ Lebang, belum tersurat satu ingatan yang tajam tentangnya. Seluka itukah hatinya hingga tega melakukan semua itu? Tidakkah dia memiliki saudara perempuan juga? Batinku masih bergejolak. Berontak kian kemari. Pikiranku menuap kisah itu.
            ##################
Aku wanita modern. Hidup di kota besar dengan penjajahan budaya berbeda. Berpendidikan tinggi. Namun, semua itu tetap masih menuntunku pada sebuah lintasan adat yang tak dapat kulalui begitu saja. Dengan segala pertimbangan yang matang, aku mengiyakan permintaan Anto’ Lebang saat itu sebelum menghembuskan nafas terakhirnya. Ini kisah tak sempurna Anto’, tetapi kau hamper menyempurnakannya kini.
“ Ke’nang, kau sudah siap? Pagi ini Kakek Muhammad datang untuk melaksanakan ritual memandikanmu dengan kembang tujuh rupa, semuanya sudah ibu  sediakan di kamar mandi. Sekarang, apakah kamu yakin bisa menerima ritual ini? Ini demi kamu, Nak. Ritual annyungke sura’ nikkahmu harus dilakukan  seperti pesan lelaki itu dalam mimpi anto’ Lebangmu,” meski hatiku menjerit dan batinku menolak semua ini, aku hanya sanggup mengiyakan keinginan anto’ dan ibu. Bukankah mengikuti aturan adat tak seburuk pikiran kita selama ini, sepanjang tidak melanggar norma-norma agama. Entahlah, ringisku kemudian.
“Ke’nang, kuberitahukan satu hal tentang siapa lelaki itu sebelum kita mulai. Namanya Riansyah Liwang. Teman semasa SMP mu dulu. Dia menaruh dendam yang besar kepadamu karna kau pernah menolak cintanya dulu. Suatu malam yang buta dan dingin merambat masuk ke gubuk tuaku, dia mendatangiku, memintaku untuk melepas dendam yang pernah dibenamnya di hatimu. Liwang menyebut namamu, dan aku sangat kaget ketika kuketahui kau adalah cucu putri kesayangan Patta Ledeng, sahabatku, Anto’ ledengmu. Dia bertutur begitu lambat dan pelan. Sembab dan basah yang tergenang di wajahnya yang bening. Nak, cinta telah membutakan mata hatinya melakukan semua ini. Dia ingin melepaskanmu dari kutukan itu. Sebab, dia mencintaimu dengan luka yang begitu nganga. Setelah itu, dia pamit pulang. Dan, aku tersentak dan terbangun dari tidurku. Ternyata aku bermimpi, bahkan aku tak pernah bertemu dengannya. Kuketahui kemudian, kalo dia meninggal dalam kecelakaan ketika dia ikut kompetisi Balap motor 3 tahun lalu.” Tutur kakek Muhammad begitu detail. Mata beningku berlinang. Sungguh, aku pun pernah mencintaimu pada masa pergolakan hati mudaku. Namun, aku hanya bisa menolakmu sebab kuketahui, keluargamu adalah áta di Turatea ini. Maksud hati tak ingin melukaimu lebih dalam ternyata berbalik pahit dan darah yang menyungai. Sungguh, kau lelaki pertama yang pernah menempati ruang hatiku begitu lama sebelum akhirnya Ragil melululantahkan perasaanku kepadamu.
Saat kuhapus jejakmu. Ada luka yang ingin kuobati;
Ada rindu yang ingin kuputihkan; agar Ia tak menjadi abuabu di hatiku
#########
            Kutelusuri lekuk-lekuk tubuh Makassar. Perjalanan selama dua jam meletihkan seluruh tubuhku. Kupinggirkan mobilku pada sebuah parkiran ‘Spa & Therapy’ langgananku. Baru saja mau melangkahkan kakiku ke ruang loby, kulihat pemandangan indah yang menohok pandanganku. Langkahku terhenti. Berniat mundur dan membalikkan badan, pria itu memanggil namaku.
            “Melani,” dia mendekatiku bersama seorang perempuan yang juga kukenal.
            “Ragil, Reva, apa kabar? Maaf yah, aku buru-buru. Mendadak ada telepon dari kantor,” kilahku berusaha menenangkan hati.
            Tasnya bergetar. Ada panggilan masuk. Di angkatnya.
            “Ada apa Dok?”
            “Baik, saya segera ke sana.”
            Melani berlalu dari hadapan Ragil, mantannya dan Reva, sahabatnya. Orang yang menjadi bagian dalam hidupnya di masa lalu tapi mengkhianatinya. Perih.
                                    #######
            “maaf, mbak, saya sengaja memanggil Anda kemari. Hasil pemeriksaan lab telah ada.” Dokter fahri terhenti begitu saja. Ada kekhawatiran membenam di tatapannya.
            “katakana saja dok.” Ucapku lirih dan menahan sesak dada ini.
            “Mba Melani, anda terdeteksi Demensia Syndrome akut stadium 4.  Penyakit ini adalah sebuah penurunan fungsi otak, termasuk ingatan, pemahaman dan penalaran. Demensia adalah sindroma yang berhubungan dengan beberapa penyakit. Sebenarnya, paling sering disebabkan oleh Alzheimer. Biasanya ditemukan pada wanita usia manula, tetapi dapat terjadi sebelumnya. Termasuk Anda. Ini kasus kedua yang pernah saya tangani. Biasanya waktu pasien hanya tersisa 2 bulan lagi.”
            Aliran darahnya seolah terhenti begitu saja. Nafasnya serupa denyut malam yang kaku. Wajahnya memucat tempias. Pandangannya mengabur. Hitam. Gelap. Senyum Liwang terurai indah. Menjulurkan tangannya untuk kuraih.

Andai, tidur dan maut tiada terpisahkan

dan sepi mulai menyanyi disudut malam tanpa biola,

akan kugunakan gaun kesunyian menemuiMu,

berbagi kisah tentang bebunga ruh yang keriput

di bibir lelapku yang tersayat.


############

0 komentar:

Posting Komentar