Lelaki sunyi



Selain kematian, tak ada hal yang memilukan ketika rindumu tak terhantar lagi kepadanya. Setiap tetesan bening yang mengalir kadang menjadi pilu yang menyayat rongga dadamu. Lalu, di mana kurengkuh hatimu lagi jika yang terhampar di hadapku hanyalah wajah nisan yang hitam? Tahukah kamu? Seberapa kuat aku menahan gejolak tak ingin merindumu lagi, sekuat itu pula angan tentangmu yang lalu merayuku. Lalu, beginikah rupanya Sunyi? Sunyi yang Garang.


Perempuanku, Beginikah rupanya sepi?
Seperti semua mata menatapmu garang;


          Bulan tersungkur jatuh ke pangkuanku saat langit menderaskan airmata perihnya. Sedang malam mengerut. Mengabur. Mengubur sisa kenangan yang tersiar di jejak hujan. Kaukah Diandra Mayesha Putri Karaeng Bulaeng? Yang ingin kupinang dalam riak hati yang gemuruh. Yang ingin kucium di bawah temaram purnama yang menggeliat. Lalu, hujan begitu saja menghapus jejakmu. Ah, aku tak sanggup Ndi’. Aku lebih ingin membiarkan tubuhku tercabik-cabik oleh badik Kaengmu dibanding harus melihat mata beningmu mengucurkan airmata. Tapi, maukah kupinta satu hal kepadamu Ndi’? Jika kelak ku benar-benar tiada karena mempertahankan cintaku untukmu, maka makamkan aku di belakang rumahmu saja, agar kau leluasa mengunjungiku, menabur bunga rindu untukku.
telah tercium harum kamboja, sayang;dari sebuah pusara hati yang meradang;
Sungguh, kehilangan tak memberi ruang untukku; Menari bersama hujan


          Diandra Mayesha Putri Karaeng Bulaeng. Namamu sungguh indah, sayang. Bahkan tiap menyebut namamu karaeng Bulaeng, aku seperti menggenggam emas puluhan Kilogram. sebab, namamu adalah emas yang tak ternilai harganya. Jika dinominalkan pun, emas selalu menjadi perhiasan yang teratas tatarannya dibandingkan lainnya. Tapi, aku beruntung sayang, sebab, kau hanya memilihku menjadi kekasihmu kini. Dengan segala keterbatasanku, kesederhanaanku dan ketidakmampuanku menghidupimu kelak, kaupun tahu itu, kan? Tetapi, keinginan tak selalu berjalan mulus dengan takdir kita, sebab setahun kita menjalin hubungan dengan bersembunyi dari keingintahuan keluarga kita masing-masing agar memperkenalkan dirimu dan diriku. Kau pernah bilang padaku kalau kaengmu dan ammakmu suka dengan lelaki bugis. Aku bangga, tentunya. Tapi, aku akan meringis perih ndi’, jikalau saja harus mengingat darimana muasalku. Semoga keluargamu bisa paham kelak ndi’.
            “Aku tak peduli muasalmu, daeng. Apakah kau Andi atau bukan. Aku hanya tahu kalo aku mencintaimu. Seberapa besar, jangan kau tanyakan daeng, sebab, hingga ihwal berdarah pun kelak akan kutempuh jika kita tak direstui.” Matamu berkaca-kaca dan bibirmu gemetar mengatakan itu. Bahkan, seketika petir membelah langit seolah mendengar risalahmu dan mengaminkan perkataanmu.
“Oh, ndi’ Bulaengku, aku ini laki-laki mammase-mase, apa yang bisa kau harapkan dariku ndi’? tidakkah keluarga hal terpenting bagimu? Aku tak ingin kau menderita.” tatapku dengan penuh belas.
Kau merengkuhku dan mengelus punggungku sembari berucap, “Jika kematianku harus seperti Layla karna tak bisa menyatukan cinta kita, aku ikhlas daeng, biarkan saja mereka menertawai lakuku, mencemooh diriku, karena menurutku kematianku kelak akan memberi perkabaran yang bagus untuk ke-adikuasa-an kaengku dengan purinangku yang lain. Percayalah, sayang.”
Senja seperti tak ingin beranjak dari kaki langit di Losari, tapi bibir merah saganya mengisyaratkan malam yang mulai menyapa.

Ah, senja mengapa ada irisan airmata di rupamu?

-----------------------------
“Bulaeng, anakku, Kaengmu menanyakan sesuatu pada mama. Beliau dengar, kamu sudah punya pacar di Makassar, siapa dia Nak?” Tanya ammakku perlahan mengusap rambut panjangku yang terurai dengan suara yang begitu lembut. Hatiku berseteru. Haruskah kukatakan pada mama sekarang tentang hubunganku dengan Patawari? Haruskah kukatakan yang sebenarnya asal muasal Patawari? Sanggupkah ammak dan kaeng menerimanya? Semua pertanyaan ragu seakan berputar putar di hati dan kepalaku. Apakah jalan cinta kami akan terbuka? Apakah keinginan kami akan terwujud?
“Apakah tragedy sejarah Siti Nurbaya akan terulang lagi dalam kehidupanku.” jeritku dalam hati.
“Bulaeng, kenapa kau termenung saja? Jawablah pertanyaan ammakmu ini nak!” Sambil menatap kedua mataku, ammak tersenyum lembut padaku.
“Sudah ammak.” jawabku singkat, sambil berpura pura membaca buku yang kubawa dari kamar.
“Siapakah dia Bulaeng? Bawalah sekali sekali dia kemari, supaya kaengmu dan mama mengenalnya, nak.”
“Hm, iyye’ ammak, suatu hari Bulaeng akan bawa ke rumah kita ini. Mungkin untuk sekarang belum saatnya bagi kaeng dan ammak untuk mengenalnya.” Jawabku ragu.

-------------------------------------------------------
Aku mengantongi sedihku  untuk kusimpan sendiri.
Membiarkannya melebur bersama senja di atas awan merah saga.
Suatu senja di Hari Minggu.
Kaeng untuk apa Bulaeng disuruh di rumah seharian ini? Siapakah yang hendak berkunjung?” tanyaku sambil menatap kaeng yang duduk di ruang tengah.
” Hasan, putra dato’ Emir teman kaeng. Dia sengaja datang dari Mesir untuk menengok kaengmu ini sekalian ingin berkenalan dengan kau Bulaeng anakku. Tunggulah saja, rencananya dia akan ke rumah kita jam 4 sore nanti.”
 Aku termangu. “Hasan? Apakah ada maksud lain dari kaeng? Ah, tidak baik berburuk sangka,” pikirku dalam hati.
“Baiklah kaeng, Bulaeng hendak ke pasar dulu, ammak menyuruh membeli beberapa buah-buahan untuk hidangan nanti sore.”

-------------------------

“Hasan” Ucapnya sambil menjabat tanganku. 
“ Diandra,” jawabku dengan wajah tertunduk sambil menerima jabat tangannya.
“Silakan duduk, San!” sambut kaeng sambil tersenyum ke arahnya.
”Terima kasih kaeng.
Kami duduk berhadapan. kaeng dan ammak tampak sangat gembira atas kedatangan Hasan ke rumah kami. Aku memandangnya sambil memperhatikan raut wajahnya. Bersih dan rapih tampak anak seorang dato’. Hasan pun tampak memperhatikanku, Dia menatapku perlahan lahan.
Tak terasa sudah 2 jam Hasan berkunjung ke rumah kami. Dia pun pamit. Senyumnya terpapar selalu, kaeng dan ammak mengantarnya sampai ke halaman. Aku turut menyertai mereka sampai pintu rumah. Setelah Hasan pergi dari rumah kami, kaeng bertanya padaku,
“Bagaimana Hasan menurutmu Bulaeng? Apakah dia tampan?”
“Biasa saja Kaeng, memang tampak terpelajar dan anak seorang dato”.
“ Apakah kau mau kalau Kaeng jodohkan dengan Hasan?” Tanya Kaeng mendadak”
Aku terkejut mendengarnya.
Kaeng, Bulaeng bukan anak kecil lagi, untuk apa dijodohkan segala!” 
“Dia sangat pantas untukmu Bulaeng. Anak dato’ Emir, teman kaeng, anaknya pintar, dan sepadan dengan kita. kaeng yakin dato’ Emir akan setuju.”
Ammak tolonglah!” pintaku kepada ammak yang sedang duduk di sebalah kaeng, sambil aku memohon.
”Sudahlah kaeng, nanti saja kita bicarakan hal ini, biarlah Bulaeng istirahat dulu sebentar.” Sahut ammak.
Akupun segera bergegas ke kamar, sambil menutup pintu secepatnya. Tak kuasa aku menahan tangis, ternyata kekuatiranku mejadi kenyataan. Kaengku secara mendadak ingin menjodohkan aku dengan Hasan. Seandainya kau tahu kekasihku, apa yang akan kau lakukan? Tak bisakah kau menjemputku di sini, untuk meringankan beban hatiku ini?
                             -----------------------------------
kekasihku, cinta itu kubangun dari relief luka yang nyaris sempurna
Aku tersentak dari lamunan. Seolah ada yang menepuk bahuku begitu keras. Ada apa gerangan? Ujarku membatin. Bulaeng, kekasihku, baik-baik sajakah dirimu di tanah kelahiranmu, Turatea? Sudah sebulan aku tak melihat beningnya mata tayu’mu yang selalu menggodaku menciuminya. Begitu galau ini tak bisa kuhalau dari kejaran rinduku. Membiarkannya senantiasa meliar di kerumunan rinduku. Muddanika ndi’. Besok aku akan menemuimu. Tentu saja, kaengmu dan ammakmu pun akan kutemui. Sudah waktunya kutampakkan diriku di hadapan mereka. Memperjuangkan cinta kita. Apapun resikonya akan kutempuh demimu, Ndi’ Bulaengku.
Uddanikku’ sirupa piso tareng pauno. Beginikah rindu yang menikam ndi’ku? Pada tusukannya terasa perih yang terlalu dari dasar hati. Ah, ndi’ Bulaengku malebbi’e uddanikku’ temmangngingi’.
-------------------------------------------
Kepada Patawari lelakiku;
Kusematkan harap pada keping hatimu
Pinanglah aku atas rinduku yang berdarah-darah

Ndi’ Bulaengku, jika saja kaengmu mengizinkan aku mempersuntingmu, kau tak akan senekat ini mengorbankan dirimu ndi’. Jika saja kaengmu mengerti tentang rindu kita yang membatu, akan ku pastikan kau adalah pengantin tercantik kala itu, dibalut baju bodo dan lipa’ sabbe. Sejujurnya terri marenni’ atikku’ ndi’. Di pusaramu ku letakkan badik berdarah ini, badik yang menikam tubuhmu yang membuat seluruh tubuhku mati sepeninggalmu ndi’.
Hujan menderas ketika kusapa perempuanku Bulaeng yang telah lelap di bawah selimut  tanah, perempuanku yang telah rela mengorbankan cinta dan nyawanya demi aku seorang pria dari kalangan uwa’. Sungguh cinta Bulaeng adalah semisal sembilu yang mengiris-iris relung kalbuku. Kepergian Bulaengku adalah cambuk api yang menari-nari di atas kulit. Oh, betapa kehilangan ini adalah perih. Bulaengku pergi ketika berusaha melindungiku dari amukan badik kaengnya.
Terngiang jelas bagaimana kejadian itu di pelupuk mata ketika kaengnya begitu di puncak amarah mengetahui siapa aku, Patawari. Bersimbah air mata pula Bulaeng menjelaskan inginnya kepada orang tuanya untuk dipersunting olehku. Oh, Bulaeng, betapa cintamu adalah sempurna kasih. Selamanya akan ku jaga murninya di sanubari, pengorbanan ini adalah sejati cinta yang kau ajarkan kepadaku oh kekasih. Betapa kesepian ini sungguh lebih baik sembari mengenangmu, takkan lelah ku pahat pada relief hati yang terdalam, cintamu, cintaku yang berdarah-darah, cinta kita meski pada ujung badik kita terpisah, lalu pada gundukan tanah ini kau masih tetap pengantinku ndi’. Permaisuri hati yang tak pernah memendar rindu.
Hujan kian menderas, kekasihku lelaplah dengan tenang.


Keterangan :
Kaeng à Panggilan untuk Ayah yang berketurunan bangsawan atau diistilahkan Karaeng
Ammak à panggilan untuk mama di Turatea
Ndià Panggilan untuk Adik
Daeng à panggilan untuk kakak atau yang lebih tua
Mammase-mase à berkasih-kasihan
Purinangku-à panggilan untuk Saudara ayah atau ibu
Tayu    à bermata sendu
Muddanika ndià saya rindu adinda
Uddanikku’ sirupa piso tareng pauno à rinduku serupa pisau pembunuh
Ndi’ Bulaeng malebbi’e uddanikku’ temmangngingi --> Bulaengku yang istimewa rinduku takkan pernah lelah
Terri marenni’ atikku’ ndià hati kecilku menangis
Lipa’ sabbe à sarung tenun khas Bugis Makassar
Baju bodo à pakaian adat Bugis Makassar
.
 --> Cerpen kolaborasi dengan Andi Olha, Angel dalam FFK.
.

0 komentar:

Posting Komentar