Menelanjangi fiksi dengan imajinasi


            Ada fakta yang menarik dibahas sejak beberapa hari yang lalu. Event besar dalam dunia per-fiksi-an di kompasiana, selain hari fiksi kompasiana yang pernah digelar. Nama event itu adalah ajang festival fiksi kolaborasi-kompasiana yang berlangsung tanggal 18 maret 2011 mulai pukul 20.00 wib hingga 19 maret 2011. Mengapa saya katakan menarik? Sebab, ini kali pertama saya mengikuti event seperti ini, unik dan fantastik. Setiap peserta diharuskan berkolaborasi dengan yang lainnya baik satu orang maupun lebih dalam ajang tersebut. Euphoria itu berakhir kini. Tetapi, semangat pesertanya tak luntur sedikitpun, bahkan mereka sangat mengharapkan event ini bisa berulang lagi nanti. Sebab, kemesraan tiap peserta yang hanya ber’cinta’ di dunia maya terlihat menggemaskan, mulai dari peserta yang jatuh cinta pada pandangan pertama atau yang sudah berulang kali bersua dan bercengkerama di beranda dunia maya, baik di kompasiana atau di fesbuk. Semoga.
            Pembicaraan saya saat ini tentunya masih berkaitan dengan fiksi itu. Sekiranya, penulis atau penikmat sastra baik fiksi prosa maupun puisi atau genre lainnya, tentunya memiliki pemahaman yang berbeda-beda dalam mencipta dan menikmati karya. Ada yang menulis fiksi karena sebermula dari hobi menulis diary, ada juga yang menulis fiksi karena bidang yang digelutinya memang adalah sastra dan segala tetekbengeknya. Ada pula yang menulis fiksi karna sekadar ikut-ikutan semata, ingin dikatakan sebagai seorang yang pandai nulis fiksi. Bahkan ada yang menulis fiksi sebagai profesinya. Tentu saja, aneka ragam dan jenis fiksi itu pun kadang menggelitik kita, baik secara emosional maupun psikologis.
            Namun, pernahkan kita memikirkan fiksi itu apa? Apakah hanya sekadar menuangkan hasil imajinasi saja dalam bentuk kata-kata tanpa mempertimbangkan kebenarannya? Ataukah hanya sekadar ‘penelanjangan’ dan ‘persetubuhan’ pikiran dan otak kita di atas kertas putih? Saya jadi teringat kembali dengan hasil tulisan rekan kolaborasi saya yang dinamakan Fantastic 10 berjudul FIKSI ITU. Kalimat penjelasan terakhir fantastic 10 “Itulah fiksi, dan fiksi itu adalah manusia dan sejarahnya”, sangat dahsyat. Bukankah fiksi lahir dari rahim pikiran manusia? dicipta dari sperma intelek dan ovum imajinasi sehingga melahirkan satu kehidupan atau ‘roh’ baru. Jika kamu ingin menghidupkan ‘roh’ baru itu, maka bangunlah intelekmu dan imajinasimu secara beriringan. Sebab, intelek’tualitas’ seseorang tidak akan sempurna tanpa adanya ‘moralitas’ imajinasi yang mendukungnya, demikian pula sebaliknya. Seperti yang diungkapkan Tedjowo bahwa kepandaian dan kemampuan intelek manusia itu dibangunkan dan di’hidup’kan oleh imajinasi sehingga dapat menghasilkan abstraksi ‘yang hidup’ pula.
            Pernah suatu hari, saya ditanya oleh seorang mahasiswa non-sastra (bukan jurusan sastra), sebutlah namanya Alim, “Sastra itu apa? Lalu apa bedanya sastra dengan fiksi? Apakah setiap penulis sastra itu harus tahu teori tentang sastra dulu? Lalu, apakah sastra dan fiksi itu dibuat dari hasil ber’imajinasi’ saja?” tentu saja saya kaget diberondol pertanyaan beruntun seperti itu. Saya terdiam. Berpikir selebihnya berimajinasi mengenai jawaban yang akan saya jawab. Singkat cerita, saya jelaskan sesuai dengan pengetahuan saya tentang sastra bahwa konsep utama sastra itu adalah memanusiakan manusia (hasil mengutip) J. Fiksi itu bagian dari sastra. Tentu saja, pelan tapi pasti menyuntikkan sedikit bahasa sastra pula. Dia hanya mengangguk-angguk. Keningnya Nampak berkerut. Entah telah paham atau malah tidak paham sama sekali. Wallahu ‘alam. Sebab, setelah itu, dia berlalu begitu saja setelah mengucapkan terima kasih. J. Hmm, dasar mahasiswa (Maaf yah, mahasiswa), padahal saya ingin didebat saat itu. J
             Pertanyaan terakhirlah “apakah fiksi itu dibuat dari hasil ber’imajinasi’ saja?” yang membuat saya terkejar waktu untuk menyambangi keberadaan fiksi itu. Meskipun, pada ssat itu saya sudah menjelaskannya dengan pengetahuan dan pemahaman saya, tapi, saya merasa tidak puas dengan jawaban saya sendiri. Berbagai buku dan artikel say a baca, tapi belum menjawab keingintahuan saya, hingga akhirnya sebuah buku tentang filsafat imajinasi Tedjoworo menarik perhatian saya di sebuah pameran buku yang saya datangi di Bandung, tahun lalu. Padahal, sungguh saya paling tak menyenangi membaca filsafat, terlalu rumit menurutku. Sebab itu pulalah, hingga berbulan-bulan buku itu tak pernah saya sentuh. Sekadar menyapanya saja, saya ogah. Tetapi, kini tidak lagi. Sejak event FFK digelar, saya mencari buku itu di deretan panjang buku di rak. Saya tertarik, karena event tersebut melibatkan penulis fiksi dan non-fiksi, mulai pemula hingga penulis yang sudah (terlanjur) terkenal pun ingin ‘bercinta’ dan ‘menelanjangi’ habis-habisan fiksi itu.
Simaklah penggalan puisi “Fiksi itu” berikut ini.
Ungkapan absurd labirin imaji
Fatamorgana mimpi dunia kamuflase. (Fantastik 10)
Fantastik 10 menguraikan Makna puisi tersebut sebagai berikut:
“Pada mulanya dunia begitu absurd. Banyak tabu yang menakuti-nakuti dalam buku-buku, di atas meja makan, dalam cinta, dalam sejarah yang dikonstruksikan. Dan ketakutan ketakutan manusia itu dibangun oleh adanya monopoli kebenaran dengan segala pembenaran-pembenarannya. Dunia telah membuat imajinasi terhegemoni, labirinnya mandek, kaku dan penuh tirani. Dunia sudah penuh dengan penyamaran-penyamaran. begitu fana. hanya ada fatamorgana di mana-mana. Dan mimpi manusia hanya menguap di kaca-kaca jendela peradaban. Namun, tak ada yang abadi di dunia ini kecuali perubahan.”
            Pada penggalan puisi di atas hanyalah ungkapan kata ‘spontan’ beberapa penulisnya yang diramu menjadi satu rangkaian larik-larik yang indah dan memiliki ‘roh’nya sendiri. Tentu saja, keber-ada-an kata-kata itu lahir dari ke-intelek-an dan peng-imajian yang luar biasa. Jika penulisnya tidak intelek, tidaklah mungkin imajinasi itu bisa keluar begitu saja, demikian pula sebaliknya. Sebagaimana Mc Mullin mengatakan bahwa intelek manusia itu mesti dilatih, sedangkan imajinasi mesti ‘diberi jalan keluar’ sebagai suatu kemampuan yang lebih objektif. Keduanya harus saling melengkapi, bukannya saling menguasai. Begitu pun Kant pernah mengatakan hal yang senada, bahwa peradaban membutuhkan imajinasi dan intelek berkolaborasi. Tanpa keberadaan imajinasi dalam pikiran manusia, maka sulit dibayangkan bahwa ilmu pengetahuan bisa mencapai taraf sejauh sekarang ini. Oleh sebab itu, perlu dipahami bahwa imajinasi haruslah dipahami sebagai yang menjiwai intelek sehingga kreativitas dan inisiatif bebas manusia bisa lebih berkembang secara ‘bijak’.
            Terkait dengan penggalan puisi di atas, muncullah pemahaman saya tentang imajinasi dan intelek ‘manusia’nya. Kemampuan berimajinasi dalam ungkapan kata–kata itu menghadirkan realitas yang sesungguhnya. Imajinasi adalah ruang be’reproduksi’ dan ber’produksi’ yang benar (Tedjoworo). Sebagai reproduksi, imajinasi menghadirkan kembali imaji-imaji  yang pernah dibatinkan melalui proses indrawi terhadap realitas. Namun, pada gilirannya fumgsi reproduktif itu akan digantikan oleh fungsi produktif yang baru. Dalam hal ini, imaji yang baru terbentuk itu belum pernah dialami maupun dilihat secara real, namun kini dapat direpresentasikan dan difigurasikan secara ‘real’ dalam batin. Begitu pun intelek adalah kemampuan untuk mengabstraksi.
            Untuk ‘menelanjangi’ dan ‘menyetubuhi’ fiksi yang sesungguhnya adalah ketika kemampuan imajinasi dan intelek yang dimiliki’nya ditumbuhkembangkan secara nyata dan beriringan. Sebab, konsep imajinatif itu bertumbuh dari suatu tahap intelek yang sifatnya lebih re-konstruktif. Intelek dapat memunculkan atau mensinsintesiskan suatu idea tau gagasan yang tidak langsung dapat dimengerti meskipun sifatnya sangat logis. Nah, ide ini dapat menjadi bersifat imajinatif apabila memancing subjek sendiri untuk mengembangkannya secara lebih lanjut. Sifat imajinatif itu terdapat pada keterbukaan ke arah pengembangan sebuah gagasan yang dimunculkan oleh intelek (Tedjoworo). Namun, perlu dipahami bahwa imaji itu tidak sama dengan ide. Sebab, imaji itu muncul sebelum suatu ide terbentuk dalam pikiran kita melalui kerjasama intelek dan imajinasi. Kalau kita mengatakan bahwa kita punya ide dasar tentang sesuatu, maka jauh lebih mendasar lagi kalau dikatakan bahwa kita punya imaji dasar tentang sesuatu itu. Selamat ber’fiksi-ria’. Jangan lupa mengunjungi kampung fiksi untuk melihat hasil ‘persetubuhan ide dan imaji’ dari penulis-penulis ternama kompasiana. J




0 komentar:

Posting Komentar